Senin, 16 Maret 2015

Kenang

Mungkin benar yang dikatakan orang, meskipun jauh kau sudah melangkah, masa lalu kadang membawamu untuk kembali di tempat yang sama. Maksud kembali itu akan berbeda dimaknai setiap orang. Bagiku, kembali, bukan berati ingin mengulang, hanya saja, kembali untukku adalah mengenang. Entah, hari ini, aku mengenangkan sahabat lama yang tak mampu lagi aku tanyakan kabarnya. 

Aku ingat masa dimana aku bermain di bawah pohon asam, belakang rumah. Duduk merengut, dengan wajah yang kemerahan. Ketika seperti itu, aku sedang marah. Mama, agak kesal denganku, mungkin karena aku selalu lupa menaruh buku bacaanku kembali ketempatnya. Dasar anak-anak, dipikiranku setelah pulang sekolah adalah bermain, tanpa harus lebih dulu merapikan meja setelah tuntas bergulat dengan PR Matematika.

"Hei, muka imut, kamu kembali cemberut, ada apa?" sapaanmu kala itu.
"Heh? Muka imut, perasaan setiap hari bertemu denganku kau menyapaku dengan sebutan Endut" 

Dia Rian, bocah yang saat itu seumuranku, rumahnya tak jauh dari rumahku. Selain sejak kecil mengenalnya karena sepermainan, kami juga sekelas. Tak ada yang mengira, urusan sekolah yang sama akan sampai hingga jenjang SMA. 

"Ri, eh, power ranger kagak jadi, apa tidak bosan menggangguku. Di sekolah sudah jahil padaku, sekarang bermain di sekitar rumah, kau tetap jahil padaku. Aku adukan ke Mama, baru kau akan rasa" dengan ketus aku membalasnya. 

"Nala, eh, Endut, kali ini saya berbaik hati padamu. Tampaknya, kau sedang marah tadi, dan makin bertambah sekarang. Hahaha... " sambil berkacak pinggang Rian tertawa. 

" Ih, awas ya... " 

Aku mengejarnya, hingga napasku tersengal. Ya, aku akui, bobot tubuhku yang lumayan membuatku sulit bergerak. Larinya lebih kencang. Jelas saja, dia itu seorang lelaki. Rian anak periang, tapi kadang menjengkelkan. Berat badanku selalu menjadi sasaran olokannya. 

Beranjak SMP, aku sangat ingat ia mulai memikirkan masalah hati. Kali ini dia menyukai teman sekelas kami. Tahu apa yang dia lakukan? Ia menjadikanku tempat curhat berbagai jenis masalahnya. 

"Endut, saya sedang cemas"

"Rian, saya punya nama, panggil yang sesuailah. Dalam Islam tak baik memanggil nama ejekan    untuk orang lain, apalagi jika memang tak suka. Hmm, aku bukan bocah SD yang gendut seperti dua  tahun lalu. Udah kurusan juga" -_-

"Hahha... memanggil Endut rasanya nyaman saja, La" 

"Heh? Aku yang tidak nyaman, Rian, apalagi kau mengatakan itu dihadapan yang lain.. Ish.. makin  sakit hati aku" 

"Maaf, kalau begitu End..eh.. Nala"

"Ok. Masalahmu? Coba jelasin"

"Mmm, kalau dag dig dug dekat perempuan itu, kenapa La?"

"Hoh? Rian , kamu lagi jatuh hati kalau begitu, atau periksa ke dokter deh"

"Kenapa, serius kamu, La?"

"Ih, serius, nanti kena serangan jantung loh" 

"Hei..."

"Hahaha.. ekspresimu anak muda"

"Ia ibu muda"

"Hei...kau.. yang jelas, ngga ada istilah jatuh hati atau gebet, atau jadian dengan anak orang. Fokus  tuh, pelajaran. Nanti, kalau udah kerja, baru , mikir soal melanjutkan hidup dengan lawan jenis"

"Hahaha.. beneran dah, Nala, udah jadi ibu muda, bijak amat"

"Makanya, kalau pelajaran agama jangan ngelamun aja, atau gih, ikut rohis juga, biar makin mantap ilmunya" 

Saat itu aku tak menyangka anjuranku, ternyata dituruti olehmu. Meskipun masalah hatimu dengan si dia yang kau taksir, terus berlanjut. Katanya ini masa cinta monyet, jadi, bisa jadi, masalah ini akan berakhir seiring waktu yang kau miliki. Fase SMA, masih sama dengan masa -masa lalu, hanya saja kau lebih dewasa. Lalu ternyata, kau masih saja memendam harapan padanya. Meski saat itu jurusan kita berbeda, tetapi jarak antar kelas taklah jauh. Sewaktu melewati taman, aku menangkap raut wajahmu yang merona. Maklum, wajahmu putih bersih, jadilah perubahan warna sangat jelas nampak di kedua pipimu. 

"Hahaha... Rian lagi malu, eh.. malu-maluin"

"Apa? Nala! Awas loh"

"Kabur"

Seperti yang kuduga, masih sama. Kau masih menyukainya. Oh, sobat, bagaimana caraku menolongmu? Kadang kata-kata itu spontan keluar dari mulutku. Balasannya hanya senyuman darimu. Benar kau, sudah dewasa. 

Setamat SMA, aku kuliah, kau memilih bekerja. Kesibukan menjadi remaja yang beranjak dewasa menyita waktu. Kadang, aku bertanya - tanya, bagaimana kau dan bagaimana dengan dia yang telah lama kau idamkan? Apalagi kau sudah mulai bekerja. Jawabannya aku dapatkan malam itu. Tak biasanya kau datang dengan santainya nongkrong di depan rumah setelah berbelanja di warung tetangga. 

"Setelah SMA, kau kuliah, Nala"

"Ya, kau bagaimana?"

"Saya bekerja, dan hasilnya lumayanlah"

"Ditabung juga, bro."

"Hei, panggilanku jadi keren"

"Gaul sedikit tak masalah kan?"

"Baiklah Nona, maaf selama ini memanggilmu Endut"

"Heh? Tak biasa, mau sesuatu pasti anak ini"

"Hahaha... katakan padanya tentang aku"

"Dia? tak masalah"

Kau mengangguk yakin.

"Ok. Lalu?" 

"Tapi , jangan besok, katakan ketika aku tak ada"

"Maksudmu, saya tidak mengerti, Tuan"

"Maksudku, saat aku tak lagi di dunia nyata"

"The point is?"

"She has to know, that's it"

Raut wajahmu seketika berubah. Rasanya aneh melihatmu sekarang , kawan. Pun dengan kunjunganmu malam ini, tak biasa. Firasatku, ternyata mulai mendapatkan pembenarannya. Sebulan kemudian, kau pergi untuk selamanya. Kecelakaan saat berangkat kerja. Benar-benar rahasia Allah, tak ada yang tahu kapan kematian itu datang. Tugasku adalah menyampaikan hal yang kau katakan padaku, untuknya. Kau tahu kawan, jawabannya. 

"Aku pun sama , Nala"

"Sejak kapan?"
Kau tak menjawabnya, hanya air mata yang kemudian jatuh satu-satu membasahi wajahmu yang kian bersedih. 




Amanah yang Kedua

Lama tak menjumpaimu blog. Belakangan aku sibuk dengan tugas utamaku sebagai ibu dua anak. Tugasku kini bertambah, seiring dengan umurk...