Sebuah kesyukuran mengecap dunia yang sementara ini. Sungguh ada banyak pelajaran yang mampu dirangkum sedemikian rupa. Aku belajar bagaimana seseorang bersikap atas masalah yang dihadapinya. Bagaimana kamu bergaul dengan orang-orang di sekelilingmu. Bagaimana akhirnya kamu jatuh cinta dan bagaimana kemudian harus merelakan. Aku bukan orang bijak yang bisa membuatmu nyaman dan termotivasi dengan kata-kata nasehat yang aku kucurkan. Aku juga bukan seseorang yang pandai memasak segala jenis makanan yang engkau senangi. Paling tidak aku bisa menjadi pendengar atas masalahmu. Berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama. Ah, jika mampu aku ingin kembali di saat kesekian kalinya kita berkumpul dan bercerita lagi..dan lagi..
Hei..bukankah masalah karakter itu takkan jadi pembicaraan yang membosankan. Ah ya..kurasa...jangan sampai tawaku terdengar tak terkendali. Juga, maafkan aku. Sekelumit rasa telah muncul dan kau pasti mengetahuinya, aku pun sempat bercerita. Rasanya akan menjadi perbincangan hangat lagi ketika bersua. Terima kasih masih setia memberitahukanku cara mengendalikan perasaan. Jelas kau akan tahu situasiku ketika rona merah memenuhi pipi tembemku. Hehehe...dan satu lagi, jangan bosan bersahabat denganku, meski aku menyadari aku adalah orang yang membosankan buatmu. Mungkin egois, tapi pahamilah.
Di kehidupanku, aku kadang berpikir, lebih baik aku hanya mampir, berbuat sesuatu dengan kekuatan maksimal yang aku punya. Lalu, kemudian menghilang dalam kebahagiaan yang bisa aku saksikan dari raut wajah kalian. Mengingat seseorang lalu intens menyapanya, adalah hal yang sulit (atau mungkin karena kesibukan) buatku. Rasanya pun takkan berat jika hanya bertanya kabar. Dan ya, memang, tapi selanjutnya apa? Pasti kau gelisah dan ingin bertemu. Namun, apa yang bisa kamu katakan lagi setelah bertemu. Tentu, berbagi cerita. Lalu, berpisah. Dan "pisah" adalah sulit buatku. Pun aku berpikir, lebih baik aku pergi lebih dahulu, ketimbang ditinggalkan.
Hah, dan rasanya mampir, meski hanya mampir, ada banyak memori yang takkan luput berputar-putar dalam ingatan. Aku ingin menetap, namun rasanya tak ingin ditinggalkan oleh penghuni lainnya. Ini bukan soal ingat dan lupa, namun bagiku, menyaksikan punggung seseorang yang melangkah menjauh, adalah hal yang berat...
*berceloteh tentang sifat egoisku, bertemu, berpisah, dan entahlah, apa yang aku bicarakan. bisakah aku memasukkannya sebagai dialog sebuah peran?