Matahari
masih enggan beranjak dari peraduan, tatkala seorang Kakek telah bersiap
berbenah diri. Solat subuh dikerjakan, setelah itu, segelas kopi diseruputnya
di beranda rumah. Tak lupa pisang goreng hangat menjadi pendamping minumannya
pagi itu. Nenek sibuk mempersiapkan kue yang hendak di jual ke pasar, tempat
Kakek sering mangkal bersama becak
tuanya. Kakek bermaksud mengambil kue yang telah disiapkan sang Nenek, tapi
kemudian dua orang anak telah menuju ke arahnya seraya menenteng tempat plastik
berisi kue dagangan. Mereka adalah cucu sang Kakek pengayuh becak. Umar dan
Usman. Kakek sendirilah yang memberi nama itu kepada mereka. Ia mengharapkan
agar sang cucu dapat menjadi orang yang sukses dunia akhirat, sebagaimana kedua
khalifah sekaligus sahabat Rasulullah dulu. Umar bin Khattab dan Usman bin
Affan.
“Pagi
ini, kita kemana, Kek? tanya Umar
antusias.
“Kakek
akan membawa kalian menjelajah hari ini. “
“Umm,
menjelajah itu apa, Kek? “
“Menjelajah
adalah saat kalian pergi mencari hal-hal baru. “
“Wah,
Kakek, apakah kita akan menemukan seorang pahlawan lagi, Kek? Atau…atau… ibu
yang sangat baik seperti yang kita temui di pasar? Atau….atau…” belumlah habis
kata Usman. Umar kemudian menimpali.
“Ah
ya, aku ingin bertemu ibu itu lagi.”
“Tentu
saja, aku juga ingin. Wah, aku akan mendapat setumpuk cokelat lagi hari ini”
“Asyiiik
… Kakek, ayo segera kayuh becaknya, kami sudah tidak sabar…“
Sorak
– sorai Umar dan Usman, menyelipkan senyuman di bibir Kakek. Segera keduanya
naik ke atas becak. Duduk dengan posisi terbaik dan melambaikan tangan kepada
Nenek. Hari ini, mereka akan menyusuri jalan yang sama ke pasar. Umar dan Usman
selalu saja menganggap perjalanan yang mereka lewati sangat seru. Tiap hari mereka
punya pertanyaan menarik, untuk kemudian Kakek harus jawab. Sikap bijaksana dan
senyumnya yang terus mengambang selalu menjadi pemuas jawaban dari pertanyaan
kedua cucunya, dan mereka tentu selalu mengambil pelajaran.
***
Saat
melewati persawahan yang tampak siap dipanen. Mereka bertanya, mengapa padi
harus merunduk ke bawah.
“Batang
padi itu diciptakan berbeda dari pohon yang kita lihat selalu berdiri kokoh,
cucuku. Tapi ada yang mengibaratkan buah
padi yang berisi akan semakin menunduk, dengan kerendahan hati seorang penuntut
ilmu.”
“Kakek,
kami tidak mengerti” jawab mereka bersamaan.
Wajah
Umar dan Usman mengerut, mereka berusaha mencerna apa maksud Kakeknya. Sang
Kakek kemudian menjelaskan lebih lanjut.
“Cucuku,
Umar dan Usman, saat kalian sudah menuntut ilmu , mulai sekolah, kalian akan
mendapat banyak pengetahuan baru. Kalian bisa mendapatkan derajat yang tinggi
dari usaha kalian menuntut ilmu. Tapi, jangan karena sudah berilmu kalian jadi
kikir berbagi, dan sombong. Tetapi, tetaplah jadi cucu Kakek yang rendah hati
dan selalu membantu orang lain”
“Ooo…”
mulut mereka membulat bersamaan.
Sambil
terus mengayuh becak, sang Kakek tersenyum mendengar senandung lagu dari kedua
cucunya. Anak – anak SD yang lewat
sebelah rumah sering menyanyikannya.
Satu…satu… aku sayang ibu
Dua..dua…
juga sayang ayah
Tiga..tiga… sayang Kakek Nenek
Satu, dua, tiga , sayang semuanya…
Mereka mengubah liriknya, dan
menyanyikan berulang-ulang.
“Kakek, suara kami bagus, kan?”
Tanya Umar disambut oleh senyum dan
anggukan oleh sang Kakek. Perjalanan ke pasar memang agak jauh. Mereka bahkan
melewati daerah landasan pesawat yang hanya dibatasi jalan raya yang mereka
lalui. Pernah, pesawat terbang di atas mereka, jaraknya cukup dekat, sampai
–sampai roda bagian bawah pesawat yang mulai dikeluarkan, ketika pesawat akan
mendarat terlihat sangat jelas.
“Kakek, kapan kita naik pesawat? “
“Iya, kita hanya naik becak terus …”
“Belajarlah dari sekarang cucuku, jangan
takut bermimpi. Siapa yang tahu pesawat itu bukan hanya bisa kau tumpangi,
tetapi bisa saja menjadi milik kalian. “
“Tunggu sampai kami besar ya Kek, kami
akan bekerja giat dan Kakek tidak perlu mengayuh becak lagi”
“Ya, Kakek akan kami belikan pesawat”
“Ah, benar – benar. Wah, kita akan punya
pesawat Umar”
Senyum itu kembali mengambang dari wajah
Kakek. Kata-kata dari cucunya yang baru berumur lima tahun itu seakan-akan
membawanya pada masa depan ketika mereka telah dewasa. Jika menyaksikan wajah
Kakek saat itu, ada keharuan, seakan dia ingin membalas.
Cucuku,
meskipun kau tidak mengatakannya, aku terus meminta agar mampu melihat kalian
dewasa dan sukses di dunia dan akhirat, seperti doa yang tersirat dalam nama
kalian. Umar dan Usman.
Termuat di harian FAJAR, Sahabat Anak 27 Juli 2014