Pernah,
suatu malam aku bermimpi tentang keajaiban yang mungkin datang padamu. Sejenak
aku duduk menatap hamparan kain putih yang menutupi kasur rumah sakit.
Pembaringanmu atas penyakit yang menggerogoti dirimu. Syifa, sahabatku, kali
ini kemoterapi yang kesekian kali akan engkau jalani. Aku hanya mampu
menyemangatimu. Syifa, kau tahu arti namamu bukan? Ya, pengobat. Obat yang
paling manjur untukmu adalah semangat yang terus ada darimu. Ingat suatu kali
kau menghiburku dari kegundahan atas nilaiku yang jeblok saat ujian.
“
Kana, aku adalah Syifa, kau tahu arti namaku bukan? Ya, pengobat. Ayo, baca basmalah bersama, kemudian aku obati
kegundahan hatimu dengan syairku”.
Aku
hanya mampu mengembangkan senyum dan akhirnya tertawa riang dengan candaanmu.
Memang, saat –saat sulitku kau selalu ada menyertai. Seiring waktu, aku ingin
menemanimu, menjadi pengobat, paling tidak menjadi orang yang pertama menjadi
pelipur kala kau sedang berduka, dan menjadi yang pertama bergembira kala
berbahagia. Satu hari , kita pernah berdebat tentang tokoh yang kita tonton
bersama kawan yang lain.
“
Aduh, kenapa ia tidak dengan si pria yang baik itu. Coba bayangkan pengorbanan
yang sudah diperbuatnya. Tetap saja bertepuk sebelah tangan “ kataku dengan
wajah kecewa.
“Iya
betul, aku sependapat” seorang teman mendukung.
Saat
itu kau hanya tersenyum dengan gelagat kami. Aku tahu, kau pasti ingin berkata
“Hei,
ini hanya drama, terserah dari si sutradara ingin mengarahkannya kemana.”
Atau
mungkin
“ Aduh, kalian mendebat masalah
yang tidak penting”.
Tapi
ternyata apa aku bayangkan berbeda. Dengan senyum berarti, kau membuka suara.
“
Itulah yang namanya melepaskan untuk membahagiakan. “
“
Maksudmu?” aku menoleh penasaran.
“Dari
cerita ini, kalian mengambil pelajaran. Kalau cinta kadang tak bersambut
sebagaimana kemauanmu. Ia datang dengan tiba-tiba dan menyerobot masuk membawa
rasa suka, tapi tak pernah selalu berhasil menyerobot ke target yang kamu
jatuhkan rasa suka. Lihat saja ending ceritanya.
Kalian pasti akan lebih termehek-mehek karena pengorbanan si pria bertepuk
sebelah tangan itu. Tapi, di sisi lain ia akan bahagia karena melihat orang
yang dijatuhinya rasa suka itu, berbahagia. “
Ah,
aku bahkan berusaha mencermati kata-katamu. Kau sudah seperti pengamat atau
bahkan telah jadi pakar dalam urusan perasaan. Atau mungkin karena keseringan mendiskusikan
tentang tokoh pria yang bertepuk sebelah tangan, kau sibuk mencari referensi
dan menyusun penjelasan. Apa yang aku pikirkan terjawab.
“
Syifa penjelasanmu minggu lalu ada benarnya.”
“
Bagian yang mana?”
“Mmm,
bagian yang kami akan lebih termehek-mehek pada bagian ending cerita. “
Dengan
senyum, kau berkata
“Tentu
saja, aku tahu bagian endingnya akan seperti itu. Kau tahu Lani, kan? Dia sudah
menontonnya sebelum kita. Dan ketika itu ada kuliah bersamanya, sambil menunggu
dosen , dia bercerita panjang lebar tentang drama yang baru kita tonton minggu
lalu. “
Menepuk
jidat, ah, aku tertipu. Tampangku yang cemberut dibalasnya dengan kalimat.
“
Tapi jangan salah, pendapatku itu asli loh.”
“
Ya, memang tidak diragukan, sobat “ aku mengangguk –seakan memahami maksud
seluruh penjelasannya tempo hari.
Sahabatku, takkan habis pembahasan
tentang dirimu. Betapa kau begitu perhatian, bahkan kau rela mendengarkan
keluhan tidak jelas dariku. Apakah kamu bosan? Setidaknya itu yang selalu
menghinggapi pikiranku setiap aku mulai bercerita panjang lebar. Tak diragukan,
kau memang pendengar yang baik. Tapi, aku pernah sangat membencimu. Kau tahu,
paling tidak berceritalah tentang masalah yang sulit kau hadapi. Kebencianku
memuncak ketika kau baru memberitahuku tentang sakitmu itu. Jika aku tahu sejak
awal, aku takkan mengajakmu bercapai-capai jalan kaki saat kita pulang kuliah
kala senja. Aku takkan memaksamu untuk duduk berjam-jam mengoreksi tulisanku
yang acak-acakan. Dan bahkan aku takkan membiarkanmu kedinginan di bawah hujan
saat mengejar waktu untuk kuliah penting hari itu. Aku sungguh egois, tidak
memperhatikan semua gejala-gejala sakit , akibat tingkahku. Sampai akhirnya,
aku mempertanyakan mengapa kau selalu mimisan dan berwajah pucat.
“ Apa aku harus jujur?”
“
Tentu saja. Aku memang bukan sahabat yang baik buatmu selama ini, dan mungkin
aku bukan pendengar yang baik, tapi paling tidak, bisa kau jelaskan kondisi
kesehatanmu akhir-akhir ini. Mungkin
perasaanku saja, tapi memang aku merasa ada rahasia yang ditutupi olehmu.“
“
Aku menikmati hidupku, Kana. Mungkin sebentar. Tapi benar , aku sangat
menikmatinya. “
Tatapan
lurusmu pada langit , membuatku merasa kau akan segera pergi jauh. Ah, tidak
aku tidak ingin berpikir tentang hal menyedihkan itu.
“ Kana, aku divonis kanker. Hmm, dan
katanya sudah stadium akhir.”
Air mata yang berusaha kubendung
mengalir tak tertahankan. Label wanita
tegar takkan aku pakai hari ini. Kabarmu, sudah melumatkan jantungku dan
sungguh sakit, kawan.
Hari ini aku mengamatimu, dengan
wajah pucat itu, kau masih terlihat manis. Kerudung yang kau pakai hari ini
adalah kesukaanmu. Kerudung merah muda dengan rajutan bunga sakura di sudutnya.
Bahkan hari ini pun kau menunjukkan kesyukuranmu, ucapan pujian kepada sang
Pencipta terdengar dari mulutmu. Surah Ar Rahman mengalun dari Mp3 handphone
milikmu. Aku menikmati lantunannya bersamamu. Hari itu, terakhir kali kau mau
menjalani kemoterapi. Dan seminggu kemudian, tepat saat mengakhiri ujian
skripsi, aku mendapat berita duka darimu. Dan ketika itu ingatan akan
pembicaraan kita hari itu terkuak.
“ Kau tahu mengapa aku membenci
mobil putih itu?”
“Maksudmu ambulance?”
“Ya.”
“ Kenapa? Ada yang salah?”
“ Mobil itu akan mengantarku pada
perpisahan untuk selamanya”
“ Ah, Syifa , jangan ngawur kamu. “
“Hmm, tapi, aku takkan bersedih
dengan perpisahan itu. Karena, selangkah aku bisa
meraih harapanku menemui sang
Pencipta. Ah, aku akan berusaha sebisaku.”
Mengapa aku tak menanggapi kata-katamu
dengan serius saat itu dan mulai bertanya-tanya. Memang sepertinya label
sebagai wanita tak sensitif memang cocok buatku. Do’a dari tiap orang yang
menyayangimu semoga mewujudkan harapanmu itu. Benar saja, hari itu, mobil putih
dengan sirene nyaringnya, mengantar dirimu pada peristirahatan menuju
keabadian. Dan aku, takkan lupa.
“
Dengarkan, dan bacalah pedoman hidup kita, Al Qur’an. Dalam surah Ar- Rahman,
kau pasti akan tertegun dengan banyaknya nikmat yang pasti takkan kamu
dustakan. Allah selalu adil dan pengaturannya akan kehidupan kita adalah
pengaturan yang terbaik.”
14
Mei 2014
Oleh
: Haruka Mufarrihah