Ide-ide mulai
menautkanku pada tulisan panjang. Rasanya ia ingin segera kutuangkan sebelum
rasa malas kembali melingkupiku. Netbook yang telah menemaniku selama empat
tahun belakangan menjadi tempat curahan hati. Memori data D dipenuhi dengan
tulisan-tulisanku. Semuanya aku jadikan satu sarang agar kemudian aku tidak bingung
mencari kemana mereka semua. Maklum,
banyak di antaranya tidak jelas kapan akan kelar
,sebagian lainnya menunggu komentar dari kawan terpercaya, lalu sebagian
lainnya rencana ingin aku kirimkan ke media. Berharap satu di antara sekian
yang aku kirimkan bisa terbit.
“Kak ! Air udah
mendidih tuh”
Uh, rasanya aku ingin menghilang sejenak meninggalkan
rutinitas pekerjaan rumah. Huwa… bagaimana tulisanku bisa selesai.
Ratapku dalam
hati, dan selalu demikian. Andai saja aku mampu meminjam alat Doraemon,
permintaanku itu bisa saja jadi kenyataan. Aih, tak berhentinya imajinasiku
ini. Kenyataan mulai memaki karena aku terlalu larut dengan khayalku yang canggih.
Pernah juga satu kali, aku ingin sekali memiliki pintu kemana saja. Mau tahu
kenapa? Ini semua gara-gara rasa iri pada seorang teman. Ia mulai mengunggah
foto-fotonya di setiap belahan dunia tempat ia memijakkan kaki.
“Oh, China…”
Status terupdatenya
saat itu. Dengan memajang foto saat ia menapaki tangga di tembok China yang
super legendaris. Lalu berikutnya, Thailand. Foto-fiti saat wara-wiri di
sekitaran pasar Thailand sana, menikmati perjalanan di pasar apung Thailand. Sungguh
bikin nyesek. Yang paling nyesek,
seorang teman telah umroh. Muka mupeng karena pengen. Ya Robb, saya kapan ya ?
-_-
Ya, begitulah
nasib seorang pecinta travel yang tidak punya banyak rupiah. Hanya bisa mendam
rasa dan nunggu tabungan pas buat jalan. Oya, jangan jadikan rasa iri itu
membuatmu menjadi berlaku negative sama yang jadi sasaran ke-iri-anmu. Jadikan
ia sebagai pendorong buat cita-cita yang masih kamu usahakan. Aku biasanya
mikir, masa mereka bisa aku ngga’. Tapi kadang ucapanku itu nangkring di otak
saja gara-gara, ya, malas itu tadi. Jadi sebisa mungkin hindari si malas itu ya
,Nak. Dia ngga sungkan membuat kamu nyesal dan hilang kesempatan. Jangan ulangi
kesalahan yang sama, Nak.*berasa jadi Emak..hihihi…
Kembali soal
tulisan. ^_^
Bisa dibilang
saya pecinta seni sejak kecil. Dari SD dapat juara lomba nyanyi dan puisi (Tidak
maksud pamer ya pemirsa). Karena kemudian saya memilih hengkang dari dunia tarik
suara, karena lebih mengedepankan menjaga aurat (suara) saya. Dan…tada… menulis
menjadi kegiatan rutin melepas penat, sakit hati, kesepian, sampai dari bahagia
ke bahagia pake banget dan banget.
“Ih, nih kakak,
dibilangin juga, tuh air dah mendidih dari tadi. Dimarahin Emak, Didin ngga
tanggung jawab loh”
“Iya… iya..
sabar.. orang sabar disayang Alloh adik manis.”
“Bilangin sabar
ama airnya tuh kak, dari tadi udah pada demo pengen keluar dari panci gara-gara
kepanasan”
Udah dongkol
kali adik saya yah, akhirnya dia mengucurkan kata-kata seperti itu. Saya, hanya
cengengesan dan berlalu meninggalkannya yang geleng-geleng kepala. Baru kelas 5
sekolah dasar, kelakuannya lebih baik (mungkin) ketimbang saya dan berlagak
kayak orang dewasa. Suatu hari saya nonton
tv sama dia.
“Kak, ganti
channel dong”
“Ngga ah, lagi
seru nih, tuh kan Barbie udah mau ketemu pangeran tuh”
“Dasar tontonan
anak perempuan”
“Kamu bilang apa
tadi?“
“Kan kakak
perempuan, tontonan andalannya Barbie. Nah kalau perempuan dan masih suka Barbie
sudah betulkan kalau dibilangin dasar anak perempuan. Soalnya hanya anak
perempuan yang suka sama Barbie. Tapi, tunggu, kakak ini masih kategori
anak-anak apa bukan ya? Umur setahun lagi dua puluh masalahnya”
Merasa disindir,
geser kursi, matiin tv, dan angkat kaki. Benar-benar jengkel tingkat tinggi.
“Ckckck, benar,
kakak masih kayak anak-anak, ngambekkan, manyun pula”
Si adik nyalain
tv lagi. Pas lagi serunya. Mati lampu.
“Yah, mati
lampu. Ah, padahal Tsubasa mau nendang bolanya ke gawang”
Nungguin si
listrik nyala, si adik ngitung sampai sepuluh. Hitungan sepuluh lampu sudah
menyala lagi.
“Kakak dari
mana? “
Waduh, dia ngeliat, padahal ini lagi
ngendap-ngendap ke kamar.
“Habis dari
teras, tadi. Kenapa?” jawabku agak jutek.
“Maafin Didin,
kayaknya gara-gara gangguin kakak tadi, akhirnya Didin juga kena balasan”
Beuh, ternyata dia menyadari.
“Dimaafin, kan,
Kak?”
“Mm” jawabku
seraya mengangguk.
“Jangan di ulang
ya”
Kata-kataku dibalas anggukan oleh si adik. Dalam hati
rasa tidak enak mulai menyerang. Benarlah pikiran sebagai kakak yang licik
nempel di jidat. Tidak tahu saja adikku kalau aku yang mengerjainya dengan
mematikan kilometer lampu (ngga tau nama resminya apa) di teras. Kelakuan…ckckck…
jangan di contoh ya… hehehe…
Nyambung lain
kali ^_^